Catatan Perjalanan ke Davao City (1): Ku Menyapamu (Kembali)

Negeri satu ini entah mengapa selalu mengundang hati untuk melangkahkan kaki menyambanginya kembali. Filipina. Mungkin karena terdapat banyak sahabat yang berdiam di sana, atau juga barangkali karena banyak kemiripan yang dijumpai, sehingga aku merasa lebih homy dibanding bila mengunjungi negeri lain. Ya, dengan mengumpulkan segenap niat, tabungan, dan rencana, akhirnya semesta membolehkan saya mengunjungi Filipina kembali, setelah 2 kali sebelumnya berkesempatan ke sana. Kali ini, judulnya adalah refreshing, alias liburan, sambil menyapa kembali sahabat-sahabat baik di sana. Untuk destinasi ini, saya menuju kota Davao, yang dikenal sebagai kota pendidikan di Filipina, sekaligus kota dagang yang cukup sibuk karena merupakan pintu masuk ke Pulau Mindanao, Filipina bagian selatan yang berbatasan dengan Indonesia. Secara tak sengaja, dan baru saya tahu setelah pulang setelah ibu bercerita, konon kota ini kerap dikunjungi alm. Bapak, pada masa masih aktif di militer. Lagi-lagi, saya melakukan napak tilas jejak langkah alm bapak, 30-35 tahun yang lalu. I miss bapak, then…..

Seperti yang telah saya duga dan tulis di media sosial sesaat sebelum berangkat, ada terselip kepercayaan dalam diri saya, bahwa dalam setiap perjalanan selalu ada pelajaran dan sesuatu hikmah yang saya dapatkan. Nyatanya, kepercayaan itu benar. Liburan kali ini tidaklah sekedar liburan garing dimana saya hanya memanfaatkan waktu dengan jalan dari satu tempat ke tempat lain, atau hanya menikmati wisata kuliner. Tidak. Terselip banyak hal baru, baik pengalaman maupun pengetahuan dan pencerahan yang saya dapatkan, yang tentu saja berguna bagi langkah hidup selanjutnya. Dari sharing pengalaman dan cerita sahabat-sahabat dan kerabatnya yang saya temui, ada sesuatu yang bisa dipelajari, mungkin tidak ada kata-kata yang lebih tepat untuk mengekspresikannya. Namun saya coba menggambarkannya satu per satu.

Jogja-Jakarta-Manila

Hari pertama adalah perjalanan dari kota saya, Yogyakarta ke Jakarta sebagai tempat transit. Selintas tidak ada yang spesial, sama halnya perjalanan-perjalanan yang selama ini saya lakukan dalam rangka tugas maupun lainnya. Saya sengaja memilih low-fare airplane untuk trip kali ini, yang telah saya pesan jauh-jauh hari, yaitu Air Asia (Jogja-Jakarta pp) dan Cebu Pacific Air untuk Jakarta-Manila-Davao pp. Selain menghemat biaya, juga menghemat waktu tidak harus ke Singapore dulu untuk transit. Seperti biasa, AirAsia mengantarkan saya ke Jakarta on-time. Setelah makan sore di salah satu tempat makan di Terminal 3 Soetta (Bakmi GM), saya segera cabut menuju Terminal Keberangkatan Internasional Soetta. Shuttle bus yang free dengan senang hati melayani transfer antar terminal.

Di terminal 2 saya masih harus menunggu check in desk Cebu Air dibuka. Penerbangan masih 5 jam lagi. Waktu yang cukup luang saya gunakan untuk menikmati coklat panas Dunkin Donuts sambil baca-baca buku dan gadget. Oh ya, kali ini saya sengaja tidak membawa notebook alias laptop. Tujuannya sederhana, supaya pikirannya tidak bercabang ke pekerjaan. 😉 Sahabat yang akan saya kunjungi pun menyarankan demikian, karena ini judulnya adalah liburan, jangan bawa laptop! Bawa saja flashdisk yang isinya file pekerjaan apabila diperlukan, karena di rumahnya ada laptop dan computer yang bisa dipinjam, sekaligus wifi. Yah….sama aja!

Kembali ke masa tunggu penerbangan di Soetta. Capek duduk di counter DD, saya jalan pelan-pelan pindah ke tempat lain di seputaran terminal 2. Ada beberapa rombongan yang tampaknya hendak bepergian, termasuk kelompok ziarah. Ah, melihat kelompok ziarah yang sedang siap-siap check in itu, ingatan saya kembali setahun lalu ketika Tuhan memberikan kesempatan berziarah ke Tanah Suci bersama keluarga tercinta. Rindu rasanya kembali ke sana. Kapan-kapan kalau Tuhan dan semesta mengijinkan, pasti bisa.

Perubahan gedung yang diperbaiki di sana-sini di bandara internasional Soetta Jakarta tidak begitu terasa. Yang masih mengganggu adalah beberapa kali kami harus pindah gate untuk boarding. Sampai 3 kali malah. Kantuk dan lelah bisa saja memicu kemarahan karena diminta pindah beberapa kali dengan jarak yang tidak dekat. Tapi saya memilih untuk kooperatif mengingat perpindahan gate bukanlah kesalahan petugas yang memandu. Yang penting bisa terbang, begitu pikir saya. Penumpang Cebu Air menuju Manila subuh itu lumayan beragam juga. Ada seorang ibu usianya di atas 55 tahun, tebakan saya, masih enerjik melakukan perjalanan seorang diri, demi menengok keluarga putrinya yang tinggal di Puerto City, salah satu kota cantik di kepulauan Palawan Filipina. Ada juga seorang perempuan muda yang ingin jalan-jalan di sekitar Luzon, dan padanya saya sarankan untuk mampir ke tempat wisata Tagaytay, tempat di mana saya tinggal selama kurang lebih 2 bulan untuk belajar studi gender. Akhirnya  jam 01.00 lebih saya terbang, ke Manilla, untuk meneruskan perjalanan ke Davao. Selamat tinggal sementara, Indonesia! I’ll be back….

(bersambung)

Bandara International Manila

Catatan Perjalanan di Davao (5): Melihat 3 Pihak Bersinergi dalam Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat

Selasa 13 oktober 2015

Saya diajak ke Marilog. Marilog adalah sejenis kecamatan, yang ditempuh selama kurang lebih 2,5 jam dari Davao City, menuju kea rah provinsi Bukidnon. Memang wilayah ini bukan tempat wisata, namun perjalanan menuju ke Marilog ini cantik juga, karena melewati pegunungan di sekitar Gunung Apo. Kami memang tidak bermaksud wisata, tetapi Tim DMSF memfasilitasi kerjasama untuk memfungsikan kembali Puskesmas di Marilog, perbatasan dengan Bukidnon. Nah di situ saya ingin belajar bagaimana rumah sakit swasta, akademi, community development unit diminta oleh Puskesmas dan dinas kesehatan untuk terlibat dalam upaya menghidupkan kembali pusat layanan kesehatan yang hampir mati. Pusat layanan kesehatan ini sangat diperlukan oleh masyarakat local karena satu-satunya yang ada, namun sayangnya tak berfungsi maksimal meski banyak peralatan baru yang didatangkan dari kota. Alasan yang sering digunakan untuk kurang efektifnya fungsi Puskesmas ini adalah soal listrik dan air yang sangat terbatas. Bahkan baru beberapa tahun belakangan listrik ada di Puskesmas.

Dalam pertemuan itu, mereka berdiskusi bagaimana mengatasi isu kesehatan yang mereka alami.  Menariknya, mereka melibatkan beberapa kepala desa (disebut captain) dan perwakilan beberapa barangay (=kampong atau desa) yang dilayani oleh puskesmas ini. Komunitas adat (disebut lumads) yang dikepalai oleh captain menyampaikan masalah-masalah kesehatan, termasuk minimnya air, sanitasi, dan tingginya penyakit yang dialami oleh perempuan dan anak-anak. Masalah yang hampir sama terjadi di wilayah-wilayah terpencil yang kerap saya jumpai di saat saya bekerja untuk mereka. Pada intinya mereka menanyakan komitmen pemerintah untuk mengoptimalkan upaya promosi dan kuratif yang mustinya menjadi mandate dan pekerjaan Puskesmas. Pada akhirnya mereka sepakat untuk saling bekerjasama. Isu kesehatan masyarakat dan pendidikan, tetap menjadi isu yang belum rampung di Negara berkembang.

Setelah diskusi dan rapat untuk launching program kerjasama revitalisasi fungsi Puskesmas yang sepenuhnya dalam bahasa Visayan yang sama sekali tak saya mengerti (dan mengandalkan terjemahan dari Mariper), kami melihat-lihat fasilitas puskesmas ini. Not bad, sebenarnya. Beberapa perangkat masih terbungkus rapi belum digunakan. Laboratorium belum berfungsi. Puskesmas ini mustinya bisa menampung beberapa pasien rawat inap, namun ya itu tadi, system air bersih dan listrik baru saja menyala di fasilitas milik pemerintah ini. Ada mess baru yang sama sekali belum ditempati oleh staf yang berasal dari wilayah lain. Komentar kami Cuma satu: sayang ya…..

Di saat yang sama tampak seorang bidan sedang melakukan edukasi kesehatan ibu dan anak untuk kira-kira 50an orang kader desa. Dari sekian banyak itu, yang laki-laki Cuma sedikit, bisa dihitung dengan jari. Naluri gender saya gatal untuk tidak kasih komentar. Maka pada Jobas, direktur IPHC – semacam pusat studi pengembangan masyarakat milik DMSF- yang sedang berdiri ikut memperhatikan proses edukasi itu, saya ajak diskusi kira-kira apa yang belum pas di proses fasilitasi itu. Ya, masih terjebak pada paradigm lama bahwa yang menjadi kader kesehatan desa didominasi oleh perempuan. Hal yang sama terjadi di Indonesia. Padahal, kalau kita sadari, kesehatan keluarga dan masyarakat tidak saja menjadi beban tanggungjawab perempuan, tetapi juga laki-laki. Mestinya mereka juga dilibatkan sebagai kader, karena berdasarkan pengalaman saya, ketika kami mengubah paradigm dan pendekatan ini, dengan melibatkan banyak laki-laki sebagai kader desa, maka perubahan akan tampak lebih terasa. Jobas setuju soal itu.

Setelah puas berkeliling dan saya mengambil beberapa foto kondisi komunitas lumad, kami kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Davao City. Dasar peserta rombongan kebanyakan ibu-ibu, mereka tak lupa minta driver mengantarkan ke warung yang menjual buah dan sayuran. Belanja buat persediaan. Dan…..makan durian lagiiii…..Enak, lebih nikmat lagi karena…..gratis! hihihihi…..

Setiba di MTRC Davao, saya memutuskan untuk istirahat sebentar. Sorenya saya ingin menikmati  makan malam yang sehat yaitu capchoy, seperti cap cay, kesukaan saya di Chowking yang terletak Mall Abreeza, sekitar 1 km dari MTRC. Tentunya dengan jalan kaki biar sekalian olahraga. Masuk ke Abreeza Mall, tempat yang pertama saya masuki adalah toko buku, namanya National Book Store. Memasuki toko buku ini memori saya kembali ke 8 tahun silam. Saya paling hobby ke toko buku ini kala punya waktu senggang di tengah mengikuti kursus selama 2 bulan di Tagaytay dan Manila. Satu lagi yang saya suka datangi kala itu, namanya BookStore, toko buku khusus menjual second hand books yang asyik. Rasanya puas bisa menemukan dan membeli buku murah meriah tapi kualitasnya bagus.

Di Abreeza Mall, atas saran Mariper, saya menemukan toko buku yang keren habis, tapi memang mahal, namanya Fully Booked. Kalau di Indonesia, mungkin sekelas sama Pheriplus. Berputar-putar sebentar, saya akhirnya beli buku “I am Malala” sebagai hadiah untuk Dodong dan Mariper, karena beberapa hari sebelumnya kami sempat membahas tentang Malala Yousafzai, peraih Nobel Perdamaian termuda tahun lalu.

Lalu saya menuju ke Chowking. Chowking itu judul restoran yang didesain cepat saji tetapi makanannya tidak cepat saji, dan sangat terkenal di seantero negeri ini. Menunya adalah Chinesse Food, juga menyediakan menu special es halo-halo. Es halo-halo pertama kali yang saya makan 8 tahun lalu ya di resto Chowking di Tagaytay. Waktu itu 2 orang teman saya yang asli Filipina iseng sekali, memesankan porsi yang paling besar dalam wadah mangkuk besar. Membutuhkan waktu 2 jam untuk menghabiskannya. Dasar, para Pinoy isengers! Sambil menunggu pesanan capchoi, saya menonton senam aerobic di hall Abreeza Mall. Agak amazed juga baru tahu ada senam aerobic di ruang public begini, dan ditonton orang banyak. Kata teman SMP saya, hal itu mulai wajar di Jakarta. Teman saya yang lain setelah saya kasih tahu, menyarankan saya untuk join senam zumba itu. Saya jawab via wa,”Sudah kok, sudah join….nonton mereka, maksudku…”. Kenyang makan malam sehat, saya segera pulang ke MTRC jalan kaki. Setelah bersih-bersih kamar dan say hello via medsos, istirahat bobok manis. Gak usah bobok cantik, cukup manis saja….

 

Catatan Perjalanan di Davao (4): Merayakan Usia Baru di Negeri Orang

Senin 12 oktober 2015

sesuai rencana, saya pindah ke MTRC DMSF, training centre yang mempunyai fasilitas penginapan. DMSF adalah yayasan kesehatan dan pendidikan yang terkenal di Filipina, dimana terdapat rumah sakit swasta, sekolah kedokteran, perawat, kedokteran gigi, dan pusat studi yang dikelola semacam LSM. Nah, di sinilah Mariper bekerja dan kantor saya pernah bermitra. Tugas saya adalah mencari informasi untuk keponakan saya yang ingin menempuh sekolah kedokteran, dan DMSF ini salah satu kandidatnya. Beberapa staf sudah kami kenal baik. Setiba di sana, saya say hello dengan Gloria, teman Mariper yang ikut studi banding ke Jogja dan saya temani selama 2 hari saat di Jogja. Dia senang sekali menyambut dan mengundang saya makan siang, sambil merayakan ulang tahun saya. Kebetulan saja sebenarnya. Lalu saya diajak mariper ketemu Daisy, manajer DMSF bagian pendaftaran mahasiswa. Daisy teman baik kakak saya, menjelaskan proses registrasi karena salah satu keponakan saya punya impian sekolah di luar negeri di bidang kesehatan. Ngobrol sebentar sama Mariper, Daisy, dan Gloria di kantor Daisy. Melihat-lihat kantor mariper, kembali ke kamar di MTRC. Saya sempatkan untuk say hello by phone dengan sahabat saya yang lain, yang kebetulan sedang berada di Manila, setelah saya mendapat sms ucapan selamat ulang tahun darinya. Wah, sudah tua masih dinyanyikan Happy Birthday lewat telepon, berasa kayak anak-anak. J

Jam 11 dihampiri untuk diajak makan siang atas undangan Gloria. Menuju ke Café Rekado yang lux sekali, menikmati makan siang mewah buat saya, bersama Mariper, Glo, Daisy, Lisa, dan Flora. Menu: salad udang chips, sup ayam, seafood plate (beragam seafood yang dipanggang dan dimasak dengan sempurna yummy-nya), beef hotplate, dan ditutup dengan sejenis lumpia isi durian dnegan topping melted chocolate. Duh Gusti….rasanya selangit! Terimakasih Gloria!

Kami kembali ke DMSF dan sepanjang jalan tak hentinya kami mengagumi menu makan siang tadi. Setiba di DMSF, saya diajak keliling kampus sama Mariper. Ambil beberapa foto sebagai gambaran buat ponakan tentang situasi belajar di kampus DMSF. Minggu ini mahasiswa menempuh ujian, sehingga dimana-mana melihat mereka belajar dan membaca buku-buku setebal 2 kali kitab suci. Alamak! Hebatnya, tas dengan sgala isinya ditinggal begitu saja di luar kala mereka masuk kelas untuk ujian. Dan tetap aman, tidak ada yang mengambil. Padahal kalau dilirik barang-barangnya, lumayan juga. Seperti iphone, apple ipad, dll. DMSF sedang banyak membangun dan merenovasi. Yang menarik buat saya adalah desain perpustakaannya yang modern dan nyaman untuk belajar.

Sekalian keliling hospital DMSF. Kembali ke kamar, membahas kerjaan dengan kolega di Jogja lewat bbm. Tetepppphhhh……Sore hari ke pusat belanja Aldereco untuk menukar uang USD ke PHP, lalu menuju restoran Korea. Kali ini mengundang Mariper and the fam makan malam. Menu Korean food yang luar biasa enaknya.  Tiba-tiba mendapatkan bonus dari pemilik resto. Usut punya usut, karena Mariper pernah diwawancarai oleh tv untuk mempromosikan resto ini. Lumayan! Ngobrol sambil makan malam, tak terasa habis juga. Diantar ke MTRC untuk menginap selama beberapa malam ke depan. Good night, thanks for amazing day to celebrate precious birthday. Tidur agak larut karena wajib membalas pesan-pesan ucapan yang masuk dari keluarga, sahabat, dan teman.

Terimakasih, Tuhan

Mindanao Training Resources Centre, tempat menginap

Mindanao Training Resources Centre, tempat menginap

Asrama mahasiswa

Asrama mahasiswa DMSF

Makan siang ditraktir Glo

Makan siang ditraktir Glo

Appetizer: fresh tuna salad with chips

Appetizer: fresh tuna salad with chips

Main dishes: Seafood complete platter

Main dishes: Seafood complete platter

Shrimp Salad: fresh in mid of the day

Shrimp Salad: fresh in mid of the day

Ruang belajar DMSF

Ruang belajar DMSF

Cozy library

Cozy library

Situasi RS DMSF

Situasi RS DMSF

Catatan Perjalanan Davao City (3): Menikmati Pergaulan Hidup ala Mindanao

Minggu 11 Okt, waktunya beribadah. Pada chatting sebelumnya, Mariper mengajak saya – kalau belum ada agenda- untuk mengunjungi ibu mertuanya yang mengundang mereka makan siang, memperingati 2 tahun meninggalnya ayah mertua. Karena waktu saya memang fleksibel, saya setujui saja. Pagi sebelum sarapan, saya ikut ke Mariper dan Dodong belanja di pasar tradisional pagi, membeli sayur dan berbagai macam daging persediaan logistic keluarga ini selama seminggu. Pasar tradisional Davao sama dengan kebanyakan pasar tradisional di Indonesia. Ada beberapa sayur yang baru pertama kali saya lihat. Sambil menunggu Mariper belanja, saya iseng ambil foto kegiatan pasar, yang dipenuhi tricycle, semacam becak motor yang unik.

Setelah belanja, masak, dan sarapan, kami bersiap-siap ke gereja. Saya diajak misa di Holy Infant Jesus Shrine, gereja kecil di puncak bukit yang asri. Di bukit dan kompleks gereja ini, konon istri mantan mayor (sebutan untuk kepala daerah/walikota di sana) membawa patung bayi Yesus yang disucikan dari Rusia. Banyak orang berdoa memohon kesembuhan, dan merasakan mukjizat terjadi. Sampai hari ini, tempat ini selain untuk ibadah, digunakan sebagai tempat doa bagi umat Katolik. Terdapat museum yang menggambarkan kisah hidup si istri mayor. Saya keliling lihat-lihat kompleks sebentar, lalu melanjutkan perjalanan bersama Dodong dan Mariper ke Digos City, untuk menikmati makan siang bersama dalam rangka peringatan 2 tahun meninggalnya ayah Dodong.

Perjalanan kurang lebih 1,5 jam, melewati pesisir pantai dengan pemandangan Gunung Apo, gunung tertinggi di Filipina. Pemandangan yang menyenangkan, sebelah kiri laut, sebelah kanan pegunungan. Kami melewati pabrik San Miguel yang terbesar di Filipina. Terdapat tong-tong besar yang menyimpan stok bir yang terkenal di penjuru negeri, bahkan diekspor sampai ke Eropa. Saya tahunya bir San Miguel sampai ke Eropa pada saat berada di negeri Belanda yang lalu. Dalam perjalanan, kami tergiur mampir beli durian 2 buah, murah sekali. 2 buah besar-besar hanya PHP 120, sekitar Rp 40,000. Mencicipi sedikit, enak sekali, bawa ke rumah orangtuanya Dodong.

Sampai di Digos City, diajak makan siang dengan menu seafood yang segar. Saya makan kinilaw, semacam salad ikan tuna segar yang masih mentah, hanya ditaburi cuka segar, dicampur bawang merah, dan beberapa komponen lain. Segar dan enak. Setelah makan siang, saya ngobrol sama ibunya Dodong yang tidak bisa bahasa Inggris, tetapi tetap saja gayeng, karena kami malah saling belajar bahasa/kata-kata yang sama antara bahasa Visayan (bahasa local Mindanao) dan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa, bahasa saya sehari-hari di rumah dan kantor. Tampaknya ibunya Dodong menikmati obrolan siang kami dengan merelakan jam tidur siangnya. Kata Dodong dan Mariper, ibunya itu tidak pernah tidak tidur siang. Jadi, Minggu siang itu special tidak tidur siang karena ada saya. Hahahahah…….

Tiba waktunya kembali ke Davao City. Namun sebelum kembali ke Davao, kami mampir ke makam untuk berdoa. Makam di Filipina ini bentuknya beragam, ada yang ditanam/dikubur, ada yang ditaruh di dalam rumah-rumahan yang besarnya segede gaban (lihat gambar). Dodong dan Mariper bercerita, bahwa membangun makam di negeri ini lebih mahal daripada membangun rumah tinggal semasa hidup. Orang-orang kaya berlomba-lomba membangun makam yang terbagus demi kehormatan. Saya tersenyum mendengarnya, karena tiba-tiba saya ingat budaya Sumba, Toraja, dan beberapa tempat eksotis di Indonesia yang memiliki kemiripan tradisi. Rata-rata orang di sini tidak langsung dimakamkan kalau wafat, tetapi ditunggu sampai beberapa hari bahkan seminggu. Dan selama itu pula, keluarga harus menjamu tamu yang datang, dan…..seperti biasa, begadang sambil minum dan main kartu (alias judi). Tidak hanya laki-laki, tetapi perempuan juga, seperti yang saya lihat kala pertama kali mengunjungi Filipina.

Setiba di Davao, kami tidak langsung pulang. Mariper merasa ada yang kurang di daftar belanjanya,, sehingga mampir ke supermarket. “Inilah yang kadang saya sebali. Perasaan sudah belanja banyak tadi pagi, tetapi selalu berasa kurang sehingga tiap Minggu sore tetap mampir ke supermarket!”ujarnya tak bermaksud mengeluh. Kesempatan itu saya pakai untuk melihat apakah tahu atau tofu dijual di sini. Ternyata tidak. Alamat tidak makan tempe dan tahu seminggu lebih nih! Saya beli obat kolesterol, mengingat saya meninggalkan obat itu di rumah, dan intuisi saya berkata bahwa selama seminggu ini makanan sehari-hari bakalan bahaya. High protein karena seafoodnya betul-betul menggoda. Dan….durian! ini buah memang jadi ikon Davao yang luarbiasa berkelimpahan produksinya. Bahaya buat penderita kolesterol!

(bersambung. yang sabar yaaaa….)

Misa di Holy Infant Jesus Shrine

Misa di Holy Infant Jesus Shrine

Makan siang di Digos

Makan siang di Digos

Foto bersama dengan Ibu dan sepupu sepupunya Dodong

Foto bersama dengan Ibu dan sepupu sepupunya Dodong

Model Makam di Filipina yang Mewah

Model Makam di Filipina yang Mewah

Model Makam yang simpel

Model Makam yang simpel

Panen Kelapa

Panen Kelapa

Mampir pabrik San Miguel

Mampir pabrik San Miguel

Catatan Perjalanan ke Davao (2) : Manila and Davao, here I am

Hari kedua, Sabtu 10 Oktober 2015.

Transit di bandara internasional Aquino,Manila, tepatnya di terminal 3. Tidak ada perubahan signifikan sejak terakhir saya berkunjung ke tempat ini, 2008 silam. Yang berubah adalah lantai 3 yang sekarang dipenuhi counter restoran dan toko souvenir. Juga tersedia wifi gratis yang dibatasi waktunya. Setelah mengurus bebas visa di imigrasi, serta mengambil bagasi, saya menuju area meeting point untuk kembali ke lantai 2 bagian check in penerbangan domestic. Di area meeting point ini ada setidaknya 2 counter menawarkan simcard gratis untuk turis selama di Filipina. Saya ambil simcard Globe dan membeli pulsa seharga PHP 100 agar bisa berkirim pesan dan mengakses data internet apabila tidak mendapat signal wifi. Agak menyesal belakangan, karena ternyata kartu lain –Smart- lebih murah dan terjangkau dimanapun. Dari beberapa teman saya baru tahu kalau Globe itu agak mahal, tapi memang signalnya paling kuat. Mungkin sekelas Telkomsel atau XL kalau di Indonesia. Dua teman yang saya harapkan bisa ketemu selama transit, mengirimkan pesan maaf tidak bisa menemui kali itu. Pertama karena jauh dan masih ada yang perlu diurus dan berjanji lain hari bisa bertemu di Davao karena dia memang harus ke Davao. Teman kedua yang merupakan adiknya dan saya kenal baik juga, minta maaf karena hari itu ada shift kerja. Saya maklumi saja, dan segera bersiap untuk penerbangan selanjutnya.

Terminal keberangkatan domestic pada hari Sabtu itu cukup sibuk, sampai hampir tak bisa dibedakan dengan terminal bis. Cebu Air mengantar saya ke Davao, tepat waktu. Tiba di Bandara Internasional Davao tepat waktu, bahkan lebih cepat 25 menit. Saya rencananya dijemput Mariper, sahabat baik saya.

Mariper sebenarnya adalah dulu mitra kerja lembaga tempat saya bekerja. Pernah menjadi evaluator salah satu project di Timor Leste, dan kebetulan waktu itu saya menjadi interpreter yang menemani proses evaluasi. Sejak saat itu, kami menjadi akrab dan sering bercakap di dunia maya. 2 tahun yang lalu ia mengajak keluarganya (suami dan 3 anak laki-laki) perjalanan wisata ke Jogja, kota saya. Saya menemani dan mengantarnya selama di Jogja. Oleh karena itu, saya diundang untuk mengunjungi mereka di Davao ini. Jadi, ceritanya saling berbalasan mengunjungi!

Saya diajak menginap di rumahnya dekat bandara. Setiba di rumah Mariper yang merupakan kompleks perumahan, saya langsung disuguhi makan siang bersama dengan menu lechon. Setelah itu mandi, ngobrol, dan istirahat tidur. Puas tidur membalas minimnya istirahat dalam perjalanan pesawat semalam, saya bangun sore dengan segar. Masih kucek kucek mata, sama Mariper diajak makan sore, sambil menunggu Dodong suami Mariper. Sepulang Dodong, kami diajak ke tempat food centre, menikmati live music, sambil minum San Miguel rasa apel yang lezat (gak beredar di Indonesia) dan …..es Halo Halo! Duh, jenis minuman ini betul-betul special, tak boleh dilewatkan apabila Anda berada di Filipina. Di area ini ada satu counter es halo-halo yang unik, dimana kita boleh memilih ingredients sesuai selera kita. Harganya tidak terlalu mahal. Uniknya lagi, kalau makan dan minum di situ, kita kudu membersihkan mejanya sendiri, karena pelayan mereka cukup sibuk. Wkwkwkwkwk….Jadi pembeli itu ya musti mandiri dong.

Ngobrol sampai malam diselingi musik-musik era 40-70an yang mana anak-anaknya Mariper mengalami roaming. Kasian ya……Setelah cukup ngantuk, kami pulang jam 10.30an, dan malam itu tidur saya nyenyak sekaliiiii…..Ditambah hujan deras yang bikin adem kota Davao. Good night, Davaooo

(bersambung lagi)

Enjoy live music

Enjoy the 1st night at Davao People Park, live music

Modern and Ethnic

Modern and Ethnic

Pilih sendiri sesukamu!

Pilih sendiri sesukamu!

Bersihkan sendiri sisa makan minummu!

Bersihkan sendiri sisa makan minummu!

enjoy halo halo

enjoy halo halo, ditutup ssempurna oleh San Miguel rasa Apel segar.

 

Menyerap Semangat dari Negeri Tulip (2) : Father’s Centre

Salah satu manfaat dari kesempatan belajar di negeri lain yang bisa kita dapatkan adalah mempelajari kehidupan masyarakat yang mendiami negeri tersebut. Dari cara mereka bertahan hidup di musim yang ekstrem, cara pandang mereka terhadap kehidupan, dan cara merawat peninggalan sejarah dalam berbagai bentuk rupa.
Bersama kawan-kawan peserta pelatihan, saya beruntung diajak oleh tim fasilitator ke sebuah lembaga social yang mewadahi para imigran dari berbagai negara, terutama dari Timur Tengah yang ingin memperbaiki nasib di Belanda. Lembaga tersebut didirikan oleh pemerintah kota Den Haag untuk menampung imigran gelap yang datang untuk mencari perlindungan, dan membutuhkan pekerjaan. Namun konsepnya bukanlah sekedar charity yang memberikan subsidi bulanan buat kepala keluarga imigran, tetapi konsep pemberdayaan di mana mereka bisa tetap eksis berkarya dan bersosial. Nama lembaga tersebut adalah Father’s Centre (Pusat Para Bapak), yang justru dikomandoi oleh seorang perempuan usia lanjut tetapi semangatnya masih berkobar, pensiunan guru, kalau tidak salah. Tujuan dari kunjungan kami waktu itu adalah belajar dari pengalaman para volunteer Father’s Centre bagaimana mereka bertahan hidup namun tidak meninggalkan partisipasi dan emansipasi mereka sebagai laki-laki. Emansipasi dan partisipasi laki-laki dalam kerja-kerja sosial, ya…barangkali menjadi hal baru yang kita kenal karena selama ini dunia laki-laki diidentikkan dengan dunia kerja keras. Sementara kerja-kerja sosial kemasyarakatan tanpa upah hanya didominasi oleh kaum perempuan.

Kami diterima oleh beberapa orang laki-laki usia paruh baya dari berbagai etnis yang tampaknya tidak begitu paham bahasa Inggris. Oleh karena itu perlu translator. Sambutan hangat dibarengi dengan sup hangat sebagai hidangan pembuka, yang mengantar kami pada diskusi tanya jawab sembari makan siang disediakan untuk kami. Lumayan untuk melawan dinginnya udara setelah kami berjalan beberapa menit dan naik bis. Yang menarik buat saya, para imigran yang semula kami kira adalah kelompok berpendidikan menengah ke bawah yang menjadi volunteer di Father Centre, ternyata memiliki latarbelakang luar biasa kala mereka masih mendiami negerinya dulu. Seperti seorang laki-laki sekitar usia 60an antusias minta diberi kesempatan untuk menceritakan pengalamannya bergabung di Father Centre.

“Saya berasal dari Irak, dulu pekerjaan saya mengajar di universitas terkenal di Irak. Saya seorang professor, namun karena saya tidak sepakat dengan kebijakan Saddam Husein dan saya menjadi target operasinya, saya melarikan diri bersama keluarga dan berdiam di Belanda ini. Berbulan-bulan saya tidak mendapatkan pekerjaan, hingga akhirnya saya memutuskan mencari pekerjaan seadanya, menjadi loper koran. Namun saya senang, hingga saya bertemu dengan teman-teman di Father’s Centre ini dan bergabung menjadi volunteer mengisi hari-hari saya. Tugas saya sehari-hari adalah memperbaiki barang rusak di bengkel ini.” Jelas Pak Tua dari Irak.

Kami sempat takjub mendengar penjelasannya yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke Inggris. Wow, perjuangan hidup yang luar biasa! Bayangkan bila terjadi di Indonesia. Mana ada seorang professor yang dipandang sebagai ilmuwan dan menempati strata sosial cukup tinggi, mau mengambil resiko hidup kembali ke titik 0 menjadi loper Koran demi mempertahankan ideology dan sikap hidup menentang tirani? Kisah beliau itulah yang memancing saya untuk bertanya, apa yang terjadi di keluarga besarnya ketika tahu bahwa ia memutuskan banting stir menjadi “hanya seorang loper Koran dan volunteer di lembaga sosial”, sementara kita tahu latarbelakang budaya Timur Tengah tempat ia berasal merupakan budaya yang sangat patriarkal? Patriarkal tulen, bahkan. Jawabannya membuat terharu: pada awalnya memang sulit, tetapi keluarga kami akhirnya mengerti karena yang penting apa yang kami kerjakan adalah halal dan bermanfaat bagi orang banyak. Double wow!

Kegiatan di Father’s Centre ini cukup beragam. Dari perbengkelan dimana orang bisa dengan sukarela membawa barang yang rusak dan diperbaiki oleh para relawan, penjahitan baju-baju hangat yang nantinya digunakan kembali oleh para keluarga imigran lainnya, taman bacaan, dan tempat penitipan anak yang dikelola dan dijaga oleh para bapak sebagai volunteer. Yang menarik lainnya adalah: toko serba ada yang gratis. Cara kerjanya begini: bagi siapapun yang ingin mendonasikan barang-barang yang sekiranya tidak lagi terpakai, apapun itu, dan masih layak digunakan, bisa datang dan menyerahkan barang tersebut ke toko milik Father’s Centre yang berada di seberang jalan kantor. Apapun, dari piring, baju hangat, ember, sepeda, dll. Nah, setelah disortir dan dicatat lalu dibersihkan oleh para volunteer pengelola toko, barang-barang tersebut dipajang. Keluarga imigran dan kurang mampu secara ekonomi bisa datang dan mengambil barang yang dibutuhkan secara gratis tis, tentunya setelah dicatat. Hari itu ketika kami melihat-lihat toko Mooi milik Father’s Centre, cukup banyak perempuan yang mengakses barang-barang yang mereka butuhkan. Tidak ada rasa malu dan gengsi, karena mereka toh tidak harus mencuri. Yang saya suka adalah social care antara masyarakat sekitar dan para imigran, sehingga terjadi simbiosis mutualisme yang baik. Semata untuk terciptanya keadilan sosial.

Pada akhir kunjungan Father’s Centre dan toko Mooi-nya, saya sempatkan berkelakar ke seorang kawan dari Bangladesh yang harus menderita karena kopernya belum sampai ke tangannya hingga hari keempat ia berada di Den Haag yang super dingin (hingga ia dipinjami berbagai baju hangat dari staf The Hague Academy dan beberapa peserta lainnya). “Bung, kayaknya elu pertimbangkan ke sini deh untuk akses baju-baju di toko ini, kalau sampe koper lu belum datang juga hingga seminggu. Anggap aja kita ini imigran juga….”kelakar saya. Dan ia terbahak-bahak mendengarnya.”Yeah, berharap saja besok udah nongol tuh koper. Tapi terimakasih sarannya….”

Den Haag, akhir Maret 2015

Para volunteer menunjukkan ruang kerja sosial mereka.

Para volunteer menunjukkan ruang kerja sosial mereka.

suasana toko barang layak pakai dikelola Father's Centre

suasana toko barang layak pakai dikelola Father’s Centre

Menyerap Semangat dari Negeri Tulip: Catatan & Sharing Pembelajaran Kursus Tatakelola Pemerintahan yang Responsif Gender

Tas di selasar

Tas di selasar

Mempelajari dan mendalami dunia isu gender memang tidak akan berhenti sebagaimana isu tersebut selalu dinamis seiring dengan perubahan social dan masyarakat. Bahkan di dunia Negara-negara yang mengaku sudah mengalami modernisasi sekalipun, tetap merasa bahwa ada keadilan social bagi perempuan dan laki-laki termarjinalkan yang belum tercapai. Masih ada ketimpangan, justru karena perubahan relasi kuasa belum seutuhnya memenuhi kebutuhan dan hak bagi perempuan dan laki-laki yang dinamis. Diskursus yang tak pernah selesai, apalagi mengalami benturan-benturan kepentingan politis yang, sayangnya, masih maskulin dan patriarkis.

Setidaknya, ada kesadaran bahwa ketimpangan relasi perempuan-laki-laki, perempuan dan perempuan, maupun laki-laki dengan sesama laki-laki yang dipercaya oleh segelintir orang yang menaruh minat terhadap isu tersebut. Dan dari orang-orang tersebut saya belajar, hingga ke negeri tulip yang harus saya tempuh dalam waktu kurang lebih 28 jam beserta saat-saat transitnya. Ya, melelahkan memang. Namun rasa lelah fisik tersebut pupus begitu saja oleh spirit yang saya hidupkan dan saat bertemu dengan perempuan dan laki-laki hebat yang berani membuka pikiran. Konon, peserta yang ikut kursus Gender Responsive Governance ini merupakan hasil seleksi dari 192 applicants mendapatkan beasiswa. 3 orang diantaranya kontribusi sendiri, sehingga dari 192 itu sebenarnya 10 orang yang lolos, termasuk saya. Puji Tuhan.

Bersama 12 orang peserta kursus singkat selama 2 minggu dan para fasilitator dari The Hague Academy yang bertempat di Den Haag, Belanda, kami berdebat, berdiskusi, bertanya, dan saling berbagi pengalaman maupun pikiran tentang isu gender dalam dunia pemerintahan local. Tujuannya sederhana, yaitu bagaimana kebijakan public pemerintah local di Negara miskin, berkembang, dan maju berpijak pada kebutuhan perempuan, laki-laki, bahkan transgender yang berbeda. Kebijakan public yang tidak hanya cantik dan manis ditulis di atas kertas, tetapi juga mulus dalam penganggaran dan implementasinya. Ternyata, di Negara maju, hal itupun tidak mudah dilakukan.

Kalau selama ini isu gender hanya membicarakan memberdayakan perempuan untuk mengupayakan haknya di berbagai bidang, ada yang berbeda pada kursus berbeasiswa yang saya ikuti kali ini. Melibatkan peran laki-laki dalam urusan pemenuhan kebutuhan dan hak perempuan dan hak laki-laki yang ternyata berbeda melalui langkah advokasi dan politik, menjadi ide yang terbarukan. Dilatarbelakangi kenyataan bahwa sebagian besar pemegang kebijakan di negeri maju maupun berkembang adalah laki-laki dari segi numeric, maka memperjuangkan hak perempuan hanya oleh perempuan sendiri merupakan langkah yang terlalu berat dan berliku. Let’s men talking about women, demikian gagasan baru yang disampaikan kepada kami. Lebih baik mengubah cara pandang laki-laki terhadap keberadaan perempuan, di samping memberdayakan perempuannya sendiri, daripada hanya stagnan di pemberdayaan perempuan saja.

Tentu gagasan ini tidak lahir dari asumsi saja. Ada banyak pengalaman praktis dan strategis, yang menunjukkan pada simpulan bahwa kegagalan project dan program pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah local maupun LSM dalam kerangka pemberdayaan perempuan, justru terlalu membatasi diri dengan hanya menyasar target perempuan. Dalam pembatasan target perempuan tanpa melibatkan peran stakeholder yang berjenis laki-laki, alhasil tidak akan mengubah apapun selain hanya pemenuhan kebutuhan sesaat (ekonomi, kesehatan, pendidikan, dll) dan praktis. Sementara, langkah strategis yang menjamin sustainabilitas pemberdayaan itu sendiri akan tidak terjamin selama stakeholder laki-laki tidak tercerahkan untuk turut memperjuangkan hak. Pada intinya adalah, membicarakan gender bukan lagi hanya urusan perempuan, melainkan juga urusan laki-laki. Di titik itulah akan terjadi keseimbangan gender, dan pada akhirnya membawa pada keadilan social, baik untuk perempuan, laki-laki, bahkan pada kelompok LGBTQI.

Apa Manfaatnya?

Bagi saya pribadi, tidak ada kerugian dalam mendalami dan mendapatkan pembelajaran dari pengalaman dari berbagai Negara dan berbagai pelaku mengenai isu gender. Mengapa? Pertama, bisa dipastikan bahwa setiap (garisbawahi dan tebal) program, project, dan aktivitas pemberdayaan masyarakat yang didukung oleh lembaga-lembaga donor internasional harus memenuhi salah satu syarat mutlak, yaitu outcome program harus berdampak pada terciptanya keadilan social BAIK untuk laki-laki, perempuan, orang muda, dan kelompok marjinal. Visi tersebut harus tercantumkan jelas dalam proposal, kerangka kerja program, system monitoring dan evaluasi program, bahkan budgeting project. Ini merupakan kesepakatan global untuk memastikan kembali bahwa sasaran program tidak timpang sebelah, yang disebabkan oleh pendekatan dan strategi yang kurang tepat. Oleh karena itu, pengkayaan ini penting untuk pembaharuan dan pengembangan program-program agar lebih berkelanjutan.

Kedua, untuk mereduksi pandangan sinis bahwa konsep gender dari barat yang tidak applicable dengan masyarakat Negara-negara timur. Pada faktanya, konsep yang seolah dari barat tersebut justru lahir dari refleksi-refleksi empiris yang terjadi dalam masyarakat timur. Hanya saja mereka berani menuliskannya menjadi sebuah pengetahuan dan ilmu, sementara masyarakat kita hanya menyimpannya dalam hati, padahal konsep gender dari timur tak kalah kayanya. Oleh karena itu, saya berharap berhenti mendikotomikan darimana konsep keadilan gender itu lahir. Yang jelas, dengan keterbukaan hati kita akan melihat, bahwa masih ada persoalan besar dalam masyarakat, yaitu ketidakadilan dalam relasi kuasa, control, dan pemenuhan hak antara perempuan, laki-laki, dan LGBTQI. Di sinipun kita belum tuntas membahas untuk kaum difable dan anak-anak.

Ketiga, sesuai dengan visi personal, bahwa semakin hari, saya ingin melihat semakin berkurangnya realita pelanggaran hak asasi berbasis gender di masyarakat kita. Sia-sia rasanya mengaku beriman dan beragama, namun kita membiarkan ketidakadilan, pembedaan perlakuan dan bahkan kekerasan karena perbedaan jenis kelamin, orientasi seksual, masih terjadi dan justru meningkat. Dan semestinya kita malu kala kita turut mengambil bagian sebagai pelaku secara tak sadar. Kita harus bersuara, tak hanya karena kita menjalankan sebuah program professional kita, namun akan lebih baik kalau diinternalisasikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Refleksi untuk diri sendiri, apakah bicara soal keadilan gender hanya sampai di bibir saja? Pelatihan-pelatihan semacam ini bagi saya untuk recall memastikan bahwa visi saya masih di sana, tidak berjalan jauh melenceng.

Den Haag, April 2015

Suasana belajar

Suasana belajar

Kembali Melahirkan (Secara) Alam(iah)

Foto Ibu Robin Liem di Klinik Bumi Sehat Ubud

Foto Ibu Robin Liem di Klinik Bumi Sehat Ubud

Klinik Bumi Sehat_11

Perjalanan saya dan 2 orang kawan kerja kali ini tidak hanya sekedar berlibur. Beberapa bulan lalu, secara tak sengaja kami menonton sebuah acara documenter tentang Hero of Life di stasiun swasta di Indonesia. Kali itu topiknya tentang Ibu Robin Liem yang menyuarakan Natural Giving Birth melalui Yayasan Bumi Sehat yang dirintisnya sejak 1995. Kisah Ibu Robin Liem yang ternyata mendapatkan banyak penghargaan dunia seperti CNN menginspirasi kami bertiga untuk mengunjungi salah satu klinik bersalinnya di Ubud, Bali.

Ya, itulah yang mengirim kami di Ubud dalam perjalanan yang cukup panjang karena system backpacker traveling yang kami gunakan. Setelah menghubungi pengelola Klinik Bumi Sehat, kami sepakat datang hari Sabtu pagi sesuai arahan waktu yang diinformasikan melalui surat elektronik. Dengan peta dan bantuan mbah Google, akhirnya kami dapatkan Klinik Bumi Sehat. Luarbiasa, tempatnya sejuk di tengah desa yang tak jauh dari Monkey Forrest Ubud yang terkenal itu. Di luar bayangan kami, Klinik Bumi Sehat tidak seperti bangunan Puskesmas atau klinik bersalin swasta lain yang kaku dan dingin. Bangunan klinik sederhana dan dipenuhi pepohonan dan tanaman rimbun, menjauhkan kesan arogan kendati ternyata bukanlah sebuah klinik yang besar dan mewah. Pada akhir kunjungan baru kami tahu, Yayasan Bumi Sehat sedang menggalang dana untuk membangun klinik yang lebih besar namun tetap bersahabat dengan lingkungan, tak jauh dari lokasi kini.

Mbak Eka Yuliani, sekretaris pengurus yang sedang berjaga di kantor menerima kedatangan kami dengan keramahan khas orang Bali. Setelah kami menjelaskan maksud kunjungan ini, ia memulai dengan bercerita mengapa Bu Robin Liem, seorang Belanda berkewarganegaraan AS, merintis klinik bersalin yang mengutamakan prinsip kelahiran alami. “Adik kandung Bu Robin Liem meninggal kala melahirkan anaknya di Amerika. Hal yang sangat ironis mengingat Negara tersebut mengklaim paling baik dalam pelayanan kesehatan. Ternyata, pendekatan medis modern yang membatasi komunikasi antara dokter kandungan dengan ibu hamil sebagai pasien adalah penyebabnya, sementara waktu itu adik Bu Robin sebenarnya ingin mengutarakan keluhan ada sesuatu yang tidak beres pada kehamilannya. Karena sang dokter membatasi komunikasi berhubung harus melayani pasien lainnya, terpaksa adik Bu Robin diminta datang kembali di lain waktu. Tidak dapat diselamatkan, karena tekanan darah tinggi adik Bu Robin yang sedang hamil tidak bisa menunggu. Kematian adiknya ini menjadi titik balik yang sangat penting bagi Bu Robin yang juga seorang bidan untuk mengubah pendekatan pelayanan kehamilan dan kesehatan bagi perempuan dan bayi yang dikandung,” jelas Mbak Eka.

Klinik Bumi Sehat dirintis oleh Bu Robin sejak 1995, di New York dan pada akhirnya dibuka di Ubud, saat Bu Robin menyadari ternyata angka kematian ibu melahirkan masih sangat tinggi. Kantor pusat di New York digunakan sebagai pusat informasi, kampanye, dan fundraising, sementara kantor di Ubud dan Aceh digunakan sebagai klinik pelayanan gratis bagi perempuan dan keluarganya yang tidak mampu. Klinik ini menerapkan system subsidi silang, dimana keluarga miskin dilayani secara gratis untuk pemeriksaan dan proses kelahirannya. Sementara itu, keluarga yang cukup berada dipersilakan membayar sesuai kemampuan dan disarankan untuk turut membantu. Tak sedikit artis, tokoh terkenal, dan orang asing yang sengaja melahirkan di Klinik Bumi Sehat dengan pertimbangan ingin melahirkan anak-anaknya secara murni alami sepanjang tidak ada kelainan khusus yang memaksa operasi cesar. Bahkan, Mbak Eka menceritakan bahwa ada yang datang dari Rusia khusus untuk melahirkan anaknya. Wow…..

Metode yang digunakan oleh Bu Robin dan kru di klinik ini ternyata sangatlah sederhana pendekatannya. Menciptakan rasa nyaman dan aman dalam diri ibu hamil menjelang persalinannya, adalah kunci utama yang selalu dipegang, mengingat sebagian besar masalah persalinan yang berujung pada kematian ibu hamil dan melahirkan adalah ketegangan / kepanikan sang ibu dan kurang gizi. “Bu Robin dan para bidannya merasa penting sekali untuk memeluk dan mengucapkan kata-kata yang meneduhkan bagi ibu hamil yang datang ke sini untuk memeriksakan kehamilannya. Hanya memeluk dan menanyakan kabar dan perasaan mereka, sudah sangat cukup untuk merilekskan pikiran dan tubuh sehingga siap untuk melahirkan secara alami dan murah. Perasaan diterima dan dihargai sebagai sosok penting untuk melahirkan generasi berikutnya wajib dialami oleh para ibu hamil, namun masih sangat sedikit paramedic, dokter kebidanan bahkan bidan terlatih menyadari hal ini. Yang ada adalah melihat ibu hamil sebagai pundi kemakmuran mereka dengan pelayanan yang seadanya, bahkan seringkali dengan sikap kurang ramah. Hal ini ternyata berdasarkan pengamatan dan penelitian kami, menjadi factor penentu mengapa melahirkan bagi perempuan adalah peristiwa yang traumatic dan seringkali membawa masalah serius, hingga masih menempatkan angka kematian ibu melahirkan pada tingkat tinggi,”jelasnya panjang lebar.

Bagi Robin Liem, ada tiga prinsip yang tetap dipegang dalam pelayanan persalinan: natural, science (hal-hal yang bersifat ilmiah) dan spiritual. Natural, artinya sedapat mungkin perempuan melahirkan secara alami dengan metode gentle birth, yaitu mengurangi ketegangan saat akan bersalin dan melibatkan peran pasangannya dalam proses kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan. Water birth juga menjadi pilihan yang mulai dilirik oleh pasangan suami istri, meski klinik ini tidak serta merta mewajibkan metode tersebut mengingat beberapa kontroversi tentangnya. Dengan yoga, akupunktur, akupresur, dan pemberian ASI eksklusif, maka proses alamiah menjadi lengkap bagi ibu melahirkan yang tak harus menguras kocek dan tetap merasa aman serta nyaman mengantarkan bayinya lahir ke dunia. Salah satu yang baru bagi kami adalah istilah gentle birth dan satu lagi: lotus birth. Lotus birth adalah metode untuk tidak segera memutus tali plasenta bayi yang baru saja lahir, karena plasenta adalah “saudara kembar” sang bayi. Dengan tidak terburu-buru memutus plasenta sesaat bayi keluar dari vagina bunda, dipercaya bayi tidak merasa terpaksa putus hubungan dengan jalinan emosi organ yang telah memberinya kehidupan selama kurang lebih 9 bulan di dalam Rahim ibu. Sesaat sesudah lahir, bayi juga harus segera dipeluk dan diberi air susu oleh sang ibu dan diberi waktu untuk membangun konektivitas yang erat dengan ibu, meski masih tetap terhubung dengan plasentanya (lihat gambar). Luar biasa, karena terbukti bayi yang lahir dengan metode natural semacam ini dalam perkembangannya tumbuh sebagai anak yang cerdas secara emosi, social, dan intelegensia.

Prinsip lainnya yang tak boleh ditinggalkan adalah tetap mempertimbangkan sisi keilmuan. Artinya, pada kasus-kasus kehamilan resiko tinggi, klinik Bumi Sehat juga menyarankan intervensi medis baik tradisional dan modern, seperti penggunaan laboratorium untuk ibu yang ODHA, USG, bahkan cesar apabila terjadi komplikasi dan masalah persalinan. Klinik ini tetap merujuk ke pusat persalinan apabila tidak bias menangani sendiri.

Prinsip ketiga adalah spiritual, dimana keluarga ibu yang akan melahirkan diperbolehkan masuk ke ruangan bersalin untuk mendoakan dengan cara dan ritual keagamaan dan kepercayaan yang mereka anut. Pelayanan yoga untuk ibu hamil merupakan wujud dari prinsip ini, untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan kenyamanan bagi ibu hamil dalam menyambut bayinya. Bahkan, di ruang bersalin sebelum proses melahirkan, sang ibu diperbolehkan memilih aroma bunga untuk memperkuat memori bahwa melahirkan adalah proses yang sangat indah dan dikenang dengan sangat baik, bukanlah hal yang traumatic.

Penjelasan demi penjelasan dari mbak Eka menjawab pertanyaan-pertanyaan kami seputar kesehatan ibu dan anak. Tidak hanya pelayanan bersalin, klinik ini mengembangkan program promosi kesehatan reproduksi dan seksual di sekolah-sekolah, komunitas, dan youth centre seperti lembaga kami lakukan. Kemiripan inilah yang membuat diskusi kami sangat menyenangkan dan “nyambung”, sekaligus menginspirasi kami untuk menerapkan hal baru dalam program yang kami lakukan. Mbak Eka juga memberikan buku-buku saku yang ditulis oleh Bu Robin dengan berbagai sub-tema. Kamipun diberi kesempatan untuk melihat-lihat ruangan dan berdiskusi dengan beberapa bidan dan kru yang sedang bertugas. Hari itu memang tidak banyak pasien datang, tetapi kami sangat senang menikmati suasana klinik yang begitu damai.

Tak terasa 3 jam kami sudah menggunakan waktu di Klinik Bumi Sehat. Saatnya pamit untuk melanjutkan perjalanan. Meski tidak bisa bertemu langsung dengan Bu Robin yang sedang bertugas ke Bandung, tak mengurangi perasaan senang kami karena diterima dengan sangat baik oleh rekan-rekannya. Kesamaan perhatian atas isu kesehatan ibu dan anak kendati melalui kegiatan program yang berbeda, membuat pembicaraan kami sangat berarti bahkan muncul ide untuk tidak hanya berhenti sampai di situ. Siapa tahu bisa saling belajar, karena lembaga kami membutuhkan inspirasi dan masukan yang inovatif dalam persoalan KIA.

Berkunjung di klinik ini, semakin memantapkan impian bahwa tidaklah sulit perempuan melahirkan kehidupan yang lebih baik. Melahirkan generasi alam yang lebih baik, dengan cara yang alamiah. Terimakasih klinik Bumi Sehat, terimakasih Bu Robin. Pahlawan kehidupan yang menghantarkan pahlawan-pahlawan lainnya.

Ubud, 21 Februari 2015.

 

 

Mas Koran yang Toleran

Setiap pagi dalam rute perjalanan dari rumah ke kantor, saya melewati salah satu traffic light. Tidak ada yang spesial memang. Namun ada seorang penjual koran yang setia bertahun-tahun menjajakan koran ke pengendara yang berhenti menunggu lampu merah. Sampai di situ tetap tidak ada yang spesial, karena sama halnya traffic light lainnya, ada penjaja koran juga. Yang spesial buat saya, penjaja koran langganan saya, yang ….ya ampun sungguh terlalu saya….sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Saya hanya memanggilnya dengan sebutan Mas Koran!

Murah senyum, ramah, dan sabar, itu kesan saya terhadap Mas Koran. Saat saya berhenti dan memanggil dia, selalu senyum yang ia tawarkan sebelum bertanya koran apa yang hendak saya beli. Dia selalu mengenali saya, meski muka tertutup masker atau wajah saya tertutup kaca mobil sebelum saya buka. Kala saya tidak punya uang kecil untuk beli korannya, dengan ringan dia membolehkan saya untuk mengutang dan membayarnya kapanpun saya lewat dan bertemu dengannya lagi. Oleh sebab itu saya kadang menolak kembalian kala membayar, sebagai apresiasi atas service dia yang baik.

Mas Koran menjadi teman baik saya dan beberapa teman saya yang kebetulan satu rute perjalanan dan menjadi pelanggannya juga. Bahkan di belakang hari Mas Koran mengenali bahwa kami satu kantor hanya gara-gara kadang saya bawa mobil kantor. Ternyata ia mencermatinya. Kalau lampu merah masih agak lama, kadang saya sempatkan ngobrol dengannya barang beberapa detik. Ia bahkan menanyakan sedang di mana teman kantor saya yang lainnya, karena lama tidak lewat. Keramahan yang tidak dibuat-buat. Keramahan tanpa kepentingan politis. 

Setiap menjelang Idul Fitri, saya sempatkan bertemu dengan Mas Koran untuk menyerahkan bingkisan Lebaran yang sebetulnya tidak seberapa. Tapi raut wajahnya yang bersinar-sinar menerima bingkisan selalu mengingatkan saya untuk mensyukuri kehidupan ini, sesederhana apapun. Matanya yang berkaca-kaca menjadi ekspresi tulus Mas Koran, membuat hati bergetar menyadarkan saya bahwa mengungkapkan kasih sayang tidak harus dengan kata-kata.

Pagi ini, saya terkejut dibuatnya. Saya berhenti menunggu lampu merah, dan memanggil Mas Koran dengan klakson motor. Ia mengenali saya dan bergegas menghampiri. Tiba-tiba Mas Koran mengambil tangan kanan saya, sambil tersenyum lebar ia menyalami saya. “Mbak, Sugeng Natal dan Tahun Baru ya. Semoga sehat dan diberi kaberkahan!” Saya terkejut, tidak menyangka bahwa ia mengetahui saya merayakan Natal. Semakin tidak menyangka ia memaknai toleransi yang begitu agung. “Terimakasih, mas. Selamat tahun baru juga, semoga sehat”, jawab saya tergugu.
Mas Koran tidak peduli keributan di dunia media soal mengharamkan ini itu. Ia tak peduli akan difatwa atau tidak, dihukum atau tidak. Yang ia pedulikan adalah sikap menghargai orang lain yang notabene pelanggan setianya. Ia tahu cara berterimakasih pada kehidupan yang beragam. Ia melaksanakan ajaran Sang Hidup yang jauh lebih penting daripada aturan yang dibuat manusia, yang kerapkali tidak esensial. Pagi ini, saya mendapatkan pelajaran nilai dari Mas Koran, tentang hidup yang bertoleran. Hidup dengan penuh kesadaran, keberagaman bukan menjadi penghalang untuk tetap menjadi manusia beriman.

Selamat pagi, mas Koran. Terimakasih atas pelajaran nilainya.
Yogyakarta, 23 Des. 14

Menengok Kembali Sejarah Hari Ibu di Indonesia

Catatan kritis teman beberapa hari lalu tentang salah kaprah mengingat Hari Ibu di Indonesia membawa saya pada kesadaran untuk menilik kembali mengapa ada peringatan Hari Ibu di Indonesia, di samping Hari Kartini dan lain-lain. Catatan ini tidak untuk memperdebatkan boleh tidaknya memperingati Hari Ibu, pun tidak melawan tradisi baru komersialisasi peringatan hari ibu yang sejatinya lebih nyaman apabila dirayakan dengan refleksi baru. Tidak. Namun harapan saya catatan ini mengembalikan makna sesungguhnya mengapa kita musti mengingat jasa perempuan, yang seringkali dipandang sebelah mata.

Dalam berbagai referensi sejarah pergerakan perempuan Indonesia, ada sekelumit fakta yang diringkas demikian.

“Hari Ibu di Indonesia dirayakan secara nasional pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Dekrit Presiden No. 316 thn. 1953, pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kini, arti Hari Ibu telah banyak berubah, dimana hari tersebut kini diperingati dengan menyatakan rasa cinta terhadap kaum ibu. Orang-orang saling bertukar hadiah dan menyelenggarakan berbagai acara dan kompetisi, seperti lomba memasak dan memakai kebaya.[6]

Hari Ibu di Indonesia dirayakan pada ulang tahun hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang digelar dari 22 hingga 25 Desember 1928.[7][8] Kongres ini diselenggarakan di sebuah gedung bernama Dalem Jayadipuran,[9] yang kini merupaakan kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Di Indonesia, organisasi wanita telah ada sejak 1912, terinspirasi oleh pahlawan-pahlawan wanita Indonesia di abad ke-19 seperti Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan sebagainya.[7] Kongres dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.[10]

Indonesia juga merayakan Hari Kartini pada 21 April, untuk mengenang aktivis wanita Raden Ajeng Kartini. Ini merupakan perayaan terhadap emansipasi perempuan.[8] Peringatan tanggal ini diresmikan pada Kongres Perempuan Indonesia 1938.[10] Pada saat Presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional emansipasi wanita dan hari lahir Kartini sebagai memperingati hari emansipasi wanita nasional. Tetapi banyak warga Indonesia yang memprotes dengan berbagai alasan diantaranya Kartini hanya berjuang di Jepara dan Rembang, Kartini lebih pro Belanda dari pada tokoh wanita seperti Cut Nyak Dien, dll. Karena Soekarno sudah terlanjur menetapkan Hari Kartini maka Soekarno berpikir bagaimana cara memperingati pahlawan wanita selain Kartini seperti Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dll. Akhirnya Soekarno memutuskan membuat Hari Ibu Nasional sebagai hari mengenang pahlawan wanita alias pahlawan kaum ibu-ibu dan seluruh warga Indonesia menyetujuinya.

Jadi, bila ditilik kembali sejarahnya, maka bisa kita lihat ada sedikit penggeseran makna tentang Hari Ibu, meskipun saya tidak bisa mengklaim bahwa seluruhnya salah. Mengenang ibu sebagai pahlawan yang tak disebut adalah mutlak penting. Namun sepertinya lebih tepat apabila 22 Desember diingat sebagai hari di mana setiap perempuan di Indonesia dilibatkan dalam sejarah kehidupan karena perannya cukup penting, baik dia sebagai ibu yang memiliki anak-anak biologis, maupun ibu bagi kehidupan. Baik ia menikah, atau tidak. Baik ia bekerja di sektor formal, maupun tidak. Baik ia perempuan yang kebetulan memegang jabatan penting di negeri ini, maupun tidak.

Juga tidak salah apabila setiap anak yang merasa dicintai oleh perempuan yang notabene ibunya ingin menggunakan moment ini untuk mengekspresikan cinta dan syukurnya pada sang ibu, sang pahlawan kehidupan mereka. Meskipun penting juga mengupayakan kembalinya cerita di balik peringatan Hari Ibu. Maka, kita patut berterimakasih kepada pahlawan-pahlawan pergerakan perempuan, pula berterimakasih kepada perempuan pekerja di dalam negeri dan luar negeri, perempuan-perempuan yang bekerja keras mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk orang-orang yang dicintainya. Namun ucapan terimakasih itu tidak boleh berhenti sampai di sini. Menempatkan mereka dan mengembalikan hak mereka sebagai manusia, memberhentikan eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, jauh lebih penting.

Selamat Hari Ibu. Selamat Hari Perempuan.

Yogyakarta, 22 Desember 2014